The Shattered Light-Chapter 36: – Ujian Kepercayaan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 36 - – Ujian Kepercayaan

Pagi itu, matahari masih tertutup kabut tipis ketika Kaelen keluar dari tenda. Udara dingin menyelusup hingga ke tulang, namun pikirannya jauh lebih berat daripada suhu pagi itu. Ia melihat Balrik berbicara dengan beberapa pemimpin kelompoknya, sementara Varrok tengah mengecek perlengkapan pasukan.

Kaelen berjalan mendekat. Varrok menoleh dan mengangguk singkat. "Kita bergerak dalam dua jam. Balrik akan membagi kekuatan menjadi tiga regu. Kita memimpin satu regu bersama beberapa orang kepercayaannya."

Kaelen mengangguk. "Ke mana tujuan kita?"

"Menyerang pos penjaga Ordo di perbatasan selatan. Itu salah satu titik suplai utama mereka. Jika kita berhasil merebutnya, jalur logistik mereka akan terganggu."

Sebelum Kaelen sempat merespons, Balrik menghampiri. Tatapan tajam pria itu mengiris keheningan di antara mereka.

"Kaelen," panggil Balrik. "Aku ingin kau membuktikan sesuatu hari ini. Aku ingin tahu apakah kata-katamu semalam hanya bualan atau kau benar-benar punya kekuatan untuk memimpin."

Kaelen meneguk ludah. "Apa yang harus kulakukan?"

Balrik melipat tangannya. "Aku akan mengutusmu memimpin serangan pendahuluan. Kau akan membawa sepuluh orang, termasuk beberapa orangku. Kau harus memastikan gerbang pos itu terbuka untuk regu utama. Jika kau gagal, kami semua bisa mati."

Kaelen menatap Varrok, mencari persetujuan. Varrok mengangguk pelan. "Ini kesempatan untuk mendapatkan kepercayaan mereka."

Kaelen menghela napas panjang. Ia tahu ini bukan hanya tentang membuktikan diri kepada Balrik, tetapi juga pada dirinya sendiri. Dan di balik itu, ada ketakutan—bahwa ia mungkin terpaksa menggunakan kekuatan itu lagi.

Dua jam kemudian, Kaelen berdiri di depan sepuluh prajurit. Di antaranya, ada pria dengan bekas luka di pipi, yang memperkenalkan dirinya sebagai Rhal. Wajahnya keras, penuh skeptisisme.

"Aku tak percaya dengan pemimpin muda," kata Rhal dingin. "Tapi Balrik memberimu kesempatan. Aku akan menilai dengan mataku sendiri. Jika kau ragu di tengah jalan, aku yang akan mengambil alih."

Kaelen menahan emosinya. "Jika aku ragu, kau boleh menebasku di tempat. Tapi sampai saat itu tiba, aku pemimpin di sini."

Rhal menyeringai samar. "Baiklah. Kita lihat nanti."

Perjalanan menuju pos perbatasan berlangsung sunyi. Mereka menyusuri jalur sempit di sepanjang bukit, menghindari jalan utama. Kaelen berjalan di depan, diikuti Rhal dan prajurit lainnya. Serina, Lyra, Darek, dan Aria tetap berada di kamp utama bersama Varrok.

Ketika mereka tiba di dekat pos, Kaelen mengamati situasi. Pos itu dikelilingi pagar kayu tinggi, dengan dua menara penjaga di setiap sisi. Enam prajurit Ordo Cahaya berjaga di luar, sementara lebih banyak terlihat berpatroli di dalam.

"Bagaimana caramu membuka gerbang itu?" bisik Rhal.

New novel chapt𝒆rs are published on ƒгeewebnovёl.com.

Kaelen berpikir cepat. "Kita ciptakan pengalihan. Kita bakar gudang penyimpanan di sisi timur. Saat mereka panik, kita serang gerbang barat. Jika mereka lengah, aku dan dua orang masuk ke dalam untuk membuka palang gerbang dari dalam. Sisanya menunggu tanda serangan."

Rhal menatapnya lama. Akhirnya ia mengangguk. "Baik. Aku akan mengurus pembakaran. Kau pastikan gerbang itu terbuka."

Kaelen memberi isyarat kepada dua prajurit untuk ikut bersamanya. Mereka merayap mendekati pagar kayu. Jantung Kaelen berdegup kencang. Ia merasakan bisikan kekuatan itu lagi. Tawaran kekuatan instan untuk menghancurkan segalanya. Tapi ia menolak.

Asap mulai membumbung dari sisi timur. Prajurit Ordo Cahaya panik, sebagian berlari menuju api. Kaelen memanfaatkan kekacauan itu untuk melompati pagar bersama dua rekannya. Mereka membungkam seorang penjaga yang lengah, lalu bergerak menuju palang gerbang.

"Cepat," bisik Kaelen.

Mereka mengangkat palang berat itu perlahan. Suara kayu berderit membuat Kaelen tegang. Saat gerbang mulai terbuka, Rhal dan pasukan lainnya menerjang masuk.

Pertempuran pecah. Kaelen mencabut pedangnya, menghadapi seorang prajurit Ordo yang menyerangnya. Mereka saling beradu pedang dengan keras. Kaelen hampir terdesak, tapi ia menghindar dan menusuk lawannya di perut.

Napasnya memburu. Ia melihat Rhal bertarung dengan garang, membuktikan dirinya sebagai pejuang tangguh.

Akhirnya, pos berhasil direbut. Beberapa prajurit Ordo tewas, sisanya melarikan diri. Rhal berjalan mendekat, napasnya berat, wajahnya penuh darah.

"Aku akui, kau bukan cuma bocah. Kau pemimpin," kata Rhal sambil menepuk bahu Kaelen.

Kaelen mengangguk, merasa lega sekaligus lelah. Namun di balik kemenangan itu, ia tahu ini baru permulaan. Bisikan gelap masih ada, semakin kuat. Ia sadar, pertempuran sesungguhnya bukan hanya melawan Ordo Cahaya, tetapi juga melawan dirinya sendiri.

Saat mereka kembali ke perkemahan, Balrik menyambut mereka dengan anggukan puas. Varrok tersenyum tipis, sementara Serina dan Lyra menatap Kaelen dengan bangga bercampur khawatir.

Di kejauhan, di balik pepohonan, Eryon memperhatikan dengan mata penuh minat. Ia tahu, semakin dalam Kaelen melangkah ke peperangan, semakin besar kemungkinan ia tergelincir ke dalam kegelapan yang selama ini ditakutinya.