The Shattered Light-Chapter 108: – Bayangan Masa Depan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 108: – Bayangan Masa Depan

Angin pagi berembus lembut, membawa aroma tanah basah dan debu reruntuhan. Matahari mulai menampakkan sinarnya di cakrawala, menyinari sisa-sisa kuil yang telah runtuh. Kaelen berdiri diam di tengah reruntuhan, tubuhnya terasa berat, bukan hanya karena kelelahan tetapi juga oleh beban emosional yang menghimpit dadanya.

Serina melangkah mendekat, wajahnya masih berlumuran keringat dan darah. "Kita harus pergi dari sini sebelum tempat ini benar-benar runtuh."

Kaelen tidak menjawab. Matanya terpaku pada pecahan Relik Cahaya yang masih berkilauan samar di antara puing-puing. Ada sesuatu yang terasa salah. Meski mereka telah mengalahkan sosok misterius itu, ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ini belum sepenuhnya berakhir.

Alden yang masih terengah-engah duduk di atas batu yang tersisa, mengusap luka di lengannya. "Apa yang kita lakukan sekarang? Ordo Cahaya sudah runtuh, tetapi... aku tidak merasa dunia ini benar-benar aman."

Kaelen menarik napas dalam. "Aku juga tidak."

Tiba-tiba, pecahan Relik Cahaya bergetar, dan dalam sekejap, kilatan energi hitam menyebar dari serpihannya. Kaelen refleks mengangkat pedangnya, tetapi sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, cahaya itu memudar, meninggalkan bayangan samar yang menghilang ke dalam udara pagi.

Suara bisikan samar terdengar—bukan suara yang familiar, tetapi sesuatu yang memenuhi udara, seperti seseorang yang berbicara dari tempat yang sangat jauh. Kaelen merasakan bulu kuduknya berdiri.

"Kaelen..." suara itu memanggil sebelum menghilang bersama angin.

Serina menyipitkan mata. "Apa itu? Apakah dia masih hidup?"

Alden menelan ludah, jelas merasakan hal yang sama. "Atau mungkin... sesuatu yang lebih buruk baru saja terlepas."

Kaelen mengepalkan tangannya, lalu menghunus pedangnya kembali ke sarungnya. "Kita tidak bisa mengabaikannya. Jika ada sesuatu yang tersisa dari Relik itu, kita harus memastikan bahwa tidak ada yang bisa menggunakannya lagi."

Serina menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk. "Kalau begitu, kita harus mencari tahu ke mana bayangan itu pergi."

Alden mendesah lelah. "Aku merasa kita baru saja keluar dari satu pertempuran hanya untuk masuk ke pertempuran lainnya."

Kaelen menepuk bahu Alden dengan lembut. "Bukankah itu sudah menjadi bagian dari hidup kita?"

Alden mengangkat bahu dengan tawa pahit. "Aku hanya berharap kita bisa mendapat waktu istirahat sebelum dunia kembali berantakan."

Kaelen menatap reruntuhan kuil, mengingat Eryon yang memudar dalam cahaya terakhirnya. Ia ingin percaya bahwa pengorbanan Eryon memiliki arti. Tapi apakah dunia benar-benar akan berubah? Ataukah mereka hanya mengulang sejarah dengan musuh yang berbeda?

Serina menarik napas tajam saat ia menyentuh bahunya yang terluka. "Aku merasa seperti sudah bertarung selama seumur hidup."

Alden mengangguk sambil tertawa getir. "Mungkin kita memang sudah."

Kaelen mengangkat tangannya—gemetar, nyaris tak bisa menggenggam pedangnya dengan benar. Tetapi mereka harus terus bergerak.

"Kita tidak bisa mengejar bayangan tanpa tahu ke mana arahnya," kata Alden.

Serina mengangguk. "Ada seseorang di barat yang mungkin bisa membantu. Seorang penyintas lama dari Ordo Cahaya."

Kaelen menatap horizon. "Kalau begitu, kita menuju barat."

Di antara reruntuhan, kilauan samar muncul dari pecahan Relik Cahaya yang tersisa. Seolah ada sesuatu—atau seseorang—yang masih mengawasi.

Tanpa menoleh lagi, Kaelen melangkah ke depan, meninggalkan reruntuhan kuil di belakangnya. Serina dan Alden saling pandang sebelum akhirnya mengikuti langkahnya.

Mereka tidak tahu apa yang menunggu di depan. Tetapi satu hal pasti—perjalanan mereka belum berakhir.